Pendidikan Jarak Jauh dan Pentingnya Peran Pendamping belajar

Pendidikan jarak jauh (PJJ) atau yang juga dikenal dengan istilah belajar via online, merupakan opsi darurat pada masa pandemi. Opsi ini menghasilkan berbagai dampak, dan dampak tersebut dapat berupa dampak yang positif serta dampak negatif. Learning loss atau penurunan pencapaian belajar, merupakan salah satu dampak negatif dari PJJ. Penurunan pencapaian belajar tersebut diakui oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim dalam sebuah konfrensi pers secara online.

Kejadian luar biasa wabah COVID-19 membuat proses belajar mengajar dipindahkan dari tatap muka (luring) menjadi tatap gawai (daring). Guru dan murid melakukan adaptasi pada proses belajar mengajar baru yaitu dengan bantuan teknologi informasi. Meskipun bisa dikatakan bahwa pandemi ini adalah sebuah berkah tersembunyi, dimana mau tidak mau semua orang menjadi lebih terbuka matanya pada teknologi informasi, namun segala bentuk dampak negatif dari PJJ juga harus dapat dikelola dengan baik.

Pentingnya peran pendamping belajar

Metode pembelajaran daring tentu unik, terutama jika dikaitkan dengan tingkat pendidikan peserta didik. Metode pembelajaran ini membutuhkan penggunaan perangkat telekomunikasi dan orang yang mampu mengoperasikannya, maka semakin rendah level pendidikan tentu semakin membutuhkan pendamping. Selain diasumsikan memiliki pengetahuan dan keterampilan menggunakan perangkat tersebut, pendamping juga harus memahami instruksi yang diberikan guru. Misalnya guru memberikan instruksi melalui internet chat (seperti whatsapp), learning management system (seperti Google classroom), kemudian dikombinasikan dengan tautan video pembelajaran yang diberikan pada youtube.

Untuk jenjang pendidikan SMU, atau bahkan SMP, mungkin kita tidak perlu khawatir terkait pendampingan belajar. Sebagai generasi milenial yang sehari-hari berinteraksi dengan perangkat digital, penggunaan media telekomunikasi adalah suatu hal yang biasa bagi mereka. Saya tidak akan fokus membahas tentang peran pendamping pada jenjang tersebut, karena saya mengasumsikan bahwa siswa pada jenjang tersebut cukup mandiri untuk melaksanakan sekolah dengan metode daring. Saya lebih menyoroti tentang pendidikan jarak jauh pada level sekolah dasar, dimana kemandirian belajar siswa tidak seperti pada jenjang diatasnya.

Pada jenjang pendidikan sekolah dasar, peran pendamping adalah sebuah keharusan, siswa mau tidak mau harus didampingi dalam proses belajar mengajar. Bahkan, andai mereka mampu menggoperasikan perangkat tersebut, anak-anak tidak dapat dibiarkan sendiri dalam menterjemahkan perintah dari guru. Pendamping memiliki peran penting dalam menghindari si anak dampak learning loss tadi. Pendamping harus dapat menjadi jembatan antara guru dan siswa, sehingga ia harus dapat menterjemahkan maksud dan perintah dari guru kepada siswa. Pendamping harus dapat berinteraksi dengan guru ketika terdapat menemukan suatu kendala dalam proses belajar mengajar.

Pendamping belajar juga harus memiliki kemampuan teknis untuk membantu siswa belajar. Kemampuan tersebut seperti kemampuan dalam mengoperasikan perangkat komunikasi (gadget). Pendamping harus dapat membantu siswa mengoperasikan alat tersebut, misalnya untuk menunjukan “kehadiran siswa”. Salah satu hal unik lain dari proses belajar daring adalah siswa mengirimkan dokumentasi kehadiran bisa dalam bentuk foto atau video sebagai bukti absensi. Semua hal tersebut menjadi kriteria yang harus dimiliki oleh pendamping belajar agar anak terhindar dari penurunan pencapaian belajar.

Pendamping belajar dan kesuksesan PJJ

Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) adalah hal yang baru dan tentu perlu penyempurnaan dan peran pendamping menjadi penting dalam kesuksesan belajar siswa. Perlu terdapat fleksibilitas dan kesepakatan pada proses belajar mengajar, baik waktu maupun metode dengan prinsip tidak mengorbankan kepentingan siswa untuk mendapatkan haknya. Hal yang perlu diperhatikan juga adalah tekanan belajar pada PJJ, secara bijak perlu dipertimbangkan seberapa besar tekanan belajar untuk si anak. Disini peran pendamping menjadi penting, ketika seorang siswa tidak memiliki pendamping belajar sesuai dengan kriteria tadi, maka harus ada solusi terbaik agar proses belajar siswa tidak terabaikan.

Learning loss atau penurunan pencapaian belajar harus menjadi perhatian khusus dari pihak sekolah jika menemukan kejadian tersebut pada siswanya. Komunikasi yang baik antara guru dengan pendamping belajar si anak menjadi sangat penting. Kita tentu tidak akan mengorbankan masa depan seorang anak karena keadaan darurat ini. Anak-anak ini merupakan harapan kita yang akan menentukan nasib bangsa dimasa yang akan datang. Tentu kita berharap pandemi segera berakhir sehingga anak-anak dapat bersekolah seperti sedia kala. Namun sebelum hal tersebut terjadi, perlu dilakukan berbagai penyesuaian dan upaya ekstra agar tujuan pembelajaran dalam kondisi normal tetap tercapai. Pendamping belajar adalah salah satu kunci sukses dalam pendidikan jarak jauh, sehingga proses belajar mengajar dapat berjalan secara baik dan hak siswa untuk mendapatkan ilmu terpenuhi.

Mohammad Eko Fitrianto: Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya Mahasiswa Program Doktor Ilmu Manajemen, Universitas Gadjah Mada

Industri Penerbangan dan Masa Pemulihan dari Pandemi

Beberapa minggu terakhir saya baru menyadari bahwa pesawat-pesawat komersial telah kembali melintas di angkasa secara rutin hampir setiap jam. Kebetulan rumah saya bisa dibilang cukup dekat dengan bandara dan pesawat melintas tepat diatas rumah. Dulu saat awal pandemi dan ketika beberapa kota memutuskan untuk menutup diri dari pengunjung, saya hampir tidak pernah mendengar suara pesawat terbang selama beberapa waktu. Namun sekarang sejak pagi hingga malam hari, hampir selalu ada pesawat yang melintas. Apakah sekarang telah memasuki masa pemulihan dari pandemi?

Menurut data yang dirilis setiap hari oleh menteri kesehatan, jumlah penderita baru Covid 19 masih terus bertambah. Hingga tanggal 25 Agustus 2020, jumlah orang yang terinfeksi sebanyak lebih dari 155 ribu orang, dengan rata-rata penambahanan lebih dari 1.000 kasus per hari. Berdasarkan kenyataan tersebut, beberapa ahli pandemi menyatakan bahwa kita bahkan belum melewati masa puncak pandemi. Namun demikian, kehidupan harus terus berlanjut dengan cara berkompromi dengan keadaan. Penerapan protokol kesehatan dan pembiasaan baru menjadi keseharian yang harus ditaati.

Ketika diumumkan sebagai kejadian luar biasa pada awal Maret 2020, pandemi ini berdampak luar biasa bagi ekonomi. Beberapa sektor usaha terkait jasa seperti transportasi, wisata, maupun perhotelan menjadi lumpuh. Pembatasan gerak dan penutupan akses, membuat industri transportasi, perhotelan dan tempat wisata menjadi mati suri. Hotel-hotel tidak mendapatkan pengunjung karena aturan tersebut, maskapai tidak mendapatkan penumpang karena tidak ada yang bisa keluar kota, dan pariwisata lumpuh karena banyak orang takut berpergian dan juga menahan pengeluaran untuk kebutuhan tersier. Dampaknya adalah hotel dan maskapai terpaksa melakukan PHK pada karyawannya karena tidak ada pemasukan.

Meskipun demikian, keadaan ini seperti dua sisi yang saling bertolak belakang. Pemerintah dihadapkan pada dilema untuk menyeimbangkan keduanya, mengendalikan penyebaran virus dan menjaga pertumbuhan ekonomi. Keputusan yang cepat dan tepat harus diambil untuk menghindari masyarakat dari terjangkit virus dan tetap menumbuhkan ekonomi. Dengan pertimbangan-pertimbangan yang cermat, pemerintah mulai mengizinkan sektor-sektor usaha tersebut untuk beroperasi kembali dengan menerapkan prosedur yang baru, yaitu penerapan protokol kesehatan. Pada industri penerbangan, calon penumpang diharuskan melakukan pengecekan kesehatan mandiri dan menunjukan bukti tidak terjangkit virus.

Sekarang industri penerbangan sedang mencoba untuk pulih kembali meskipun berat untuk pulih dalam waktu cepat. Aturan physical distancing yang berkaitan dengan pembatasan jumlah penumpang menjadi tantangan bagi maskapai untuk memaksimalkan pendapatannya. Belum lagi aturan penerapan protokol kesehatan yang juga dapat meningkatkan biaya operasi. Meskipun demikian, bergeliatnya industri tersebut tentu membawa hal-hal yang positif. Maskapai mulai berbenah diri, misalnya dalam hal personel seperti memanggil kembali karyawan yang dirumahkan, seiring dengan meningkatnya operasional perusahaan. Bukan tidak mungkin akan terjadi rekrutmen dalam skala besar ketika industri ini telah kembali normal.

Bagaimana dengan kondisi persaingan dalam kondisi pandemi? Jika merujuk pada konsep daya tarik industri-nya Michael Porter, perusahaan harus mencermati lima kekuatan pada lingkungannya yang dapat mempengaruhi posisinya dipasar. Lingkungan ini akan menentukan “kesehatan” perusahaan dimasa yang akan datang. Namun tentu konsep ini akan sedikit berbeda dengan konsep aslinya, dikarenakan semua kekuatan tersebut sebenarnya terdampak oleh pandemi. Bisa jadi terjadi perubahan komposisi pada masing-masing kekuatan tersebut, ada yang keluar dan mungkin ada yang masuk. Perusahaan tentu tidak ingin menjadi bagian yang hilang, maka perlu memperhatikan kekuatan-kekuatan tersebut.

Kekuatan pertama yang harus diperhatikan adalah pesaing langsung, tentu mengalami kesulitan yang sama untuk mendapatkan konsumen. Bahkan kekuatan produk pengganti, seperti angkutan darat mengalami hal yang sama ketika diterapkan kebijakan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB). Tidak berbeda dengan kekuatan ketiga dan keempat, konsumen dan supplier juga mengalami kondisi yang sama. Konsumen cenderung akan menahan diri untuk melakukan perjalanan, sementara supplier kesulitan mendapatkan pesanan dari vendor karena berkurangnya operasi. Kekuatan terakhir yang harus diperhatikan adalah pendatang baru, walau saya tidak terlalu yakin akan muncul pendatang baru yang masuk dalam lingkungan yang tidak pasti seperti sekarang.

Saya optimistis industri penerbangan akan kembali normal pada tahun 2021. Meskipun jika diibaratkan komputer, dibutuhkan sejumlah waktu agar komputer dapat bekerja secara normal setelah dalam kondisi mati. Memang pada masa pemulihan ini, pemasukan mungkin belum dapat dimaksimalkan, namun secara bertahap akan terus meningkat seiring dengan kondisi yang berangsur normal. Ketika kondisi tersebut tiba, industri penerbangan tentu akan meningkatkan skala bisnisnya seperti dengan merekrut tenaga kerja baru maupun investasi pada peralatan baru. Terakhir, seperti halnya manusia yang sedang dalam masa pemulihan dari kondisi sakit, industri penerbangan harus benar-benar menjaga kesehatannya, dengan cara “meminum obat dan mematuhi anjuran dokter”, serta “tetap berada dilingkungan yang sehat”. Semoga lekas pulih.

Mohammad Eko Fitrianto: Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya Mahasiswa Program Doktor Ilmu Manajemen, Universitas Gadjah Mada

[LD – IO] Market Power dan Regulasi

Learning Diary – Industrial Organization (LD-IO)
Pertemuan 02 (18 Februari 2020)
oleh: Mohammad Eko Fitrianto (MEF) – 450161

Konsep dan poin penting yang dibahas
– Konsep Game Theory yang Mempengaruhi Konsep Persaingan Bisnis
– Framework untuk mempelajari Industrial Organization. (misal: SCP)
– Market Power, Struktur Pasar dan Skala ekonomi (Economic of scale dan scope)
– Pandangan terhadap regulasi pasar; diatur atau dibebaskan
– Pandangan Tirole tentang Market Power and Regulation

Ada tiga paper yang dibahas pada pertemuan tersebut, yaitu dari Demsetz (1973), Knudsen et al., (2013) dan Tirole (2014), Pak Rangga menyampaikan pesan sederhana dari kedua artikel (Demsetz dan Knudsen et al.) yaitu: Jadilah perusahaan besar dengan memiliki skala yang besar, maka akan memiliki market power dan dapat bertahan di pasar.

Sebenarnya saya ingin Fokus membahas tentang Pandangan Tirole tentang Market dan Regulation, dikarenakan Pembahasan tentang Game Theory, SCP, Market Power dan Skala Ekonomi, telah dibahas oleh rekan-rekan sekalian. Maka, learning diary saya tentang topik tersebut, akan saya taruh pada bagian akhir :)

Ok, saya akan coba membahas tentang Pandangan Tirole tentang Market Power dan Regulation.

Tirole mendapatkan Nobel Ekonomi pada 2014 karena sumbangan pemikirannya tentang Market Power dan Regulasi. Inti dari pemikirannya adalah bagaimana memahami dan mengatur industri dengan beberapa perusahaan yang sangat berkuasa (powerfull).

Pemerintah sebagai regulator harus dapat memisahkan, mana aktivitas yang akan terkait dengan layanan publik dan mana yang boleh diambil oleh swasta. Pada bagian tersebut, pemerintah memberikan kesempatan pada swasta untuk mengambil bagian (diserahkan pada privat). Konsep hubungan ini seperti konsep hubungan antara Prinsipal dan Agen, dimana keduanya memiliki kepentingan yang berbeda.

Terdapat dua permasalahan utama yang muncul, yaitu: banyak pasar yang dikuasai oleh beberapa perusahaan yang sangat berkuasa (powerfull) sehingga mampu menentukan harga, kualitas dan volume, yang kedua adalah kekurangan informasi yang dimiliki oleh regulator untuk membuat regulasi. Kekurangan pengetahuan (knowledge) pada regulator terkadang membuat perusahaan yang diatur memiliki natural advantage.

Perusahaan secara alamiah ingin memonopoli pasar, dikarenakan ingin mendapatkan market power.

Untuk menghadapi hal tersebut, Tirole memberikan solusi, yaitu kebijakan seperti: membatasi harga untuk perusahaan yang memonopoli dan melarang kerjasama antar kompetitor didalam pasar yang sama.

Tirole juga memperingatkan tentang terdapat bahaya dalam deregulasi, dikarenakan sangat rentan terhadap moral hazzard. Ketika perusahaan mendekati dan mempengaruhi regulator untuk melakukan regulasi, maka bisa saja terjadi dampak buruk, seperti krisis moneter.

Salah satu permasalahan terbesar tentang deregulasi di Indonesia adalah tentang deregulasi perbankan. Kasus yang terjadi di Indonesia Indonesia pada tahun 1988, yang kemudian berdampak pada krisis moneter 10 tahun kemudian. Pada saat itu Indonesia sedang mendorong pendapatan dari sektor non-migas (karena krisis global pada tahun 1980an), dan percaya bahwa jika sektor privat didorong, maka pertumbuhan ekonomi akan tinggi kembali. Maka salah satunya adalah dengan melakukan deregulasi perbankan. Pemerintah Indonesia mengeluarkan deregulasi yang dikenal dengan Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88). Deregulasi perbankan mendorong aturan-aturan mengenai bank menjadi lebih mudah, baik dari sisi pembuatan bank baru atau operasional bank itu sendiri. Namun moral hazzard terjadi, ketika bank-bank tersebut dirampok sehingga terjadi krisis moneter.

Untuk hal tersebut, Tirole juga menekankan tentang perlunya teori baru tentang regulasi pada kondisi asymetric information, dimana seringkali regulator tidak memiliki informasi dan pengetahuan yang cukup tentang perusahaan.

-Demikian, catatan saya yang fokus pada pembahasan tentang Pandangan Tirole terkait Market Power and Regulation-

Berikut catatan terkait pertemuan ke-02 yang dibahas pada awal kuliah dimulai, terkait Game Theory, SCP, dan Market Power

Kuliah dimulai dengan penjelasan tentang game theory dan bagaimana mempengaruhi konsep persaingan bisnis. Dimana diceritakan bahwa perusahaan merespon dari apa yang dilakukan oleh pesaing. dimana pada Teori ini diperkenalkan tentang konsep SOS (Socially Optimal Solution). hal ini dapat menjawab bahwa mengapa Alfamaret dan Indomaret berada pada posisi yang berdekatan?. Karena mereka berkompetisi.

Namun apakah itu adalah langkah terbaik?, atau mereka sedang menghalangi jalan satu sama lain?. Kemudian Pak Rangga memberikan ilustrasi tentang dua penjual es krim di pantai. Dimana mereka awalnya saling berbagi wilayah dan pada akhirnya saling berkompetisi satu sama lain.

Pembahasan kedua adalah tentang konsep SCP, yang merupakan framework untuk memahami Industrial Organization.

Pada paradigma SCP yang bertumpu pada hubungan variabel struktur dan market performance.

  • Structure: Struktur pasar, bagaimana bentuk struktur pasarnya. diukur dengan CR atau menggunakan Herfindahl Index
  • Conduct: Perilaku perusahaan, seperti: strategi harga, produk, dll
  • Performance: Kinerja perusahaan: seperti: profitabilitas perusahaan

Konsep ini diperkenalkan oleh Bain dan Mason, yaitu tentang (Structure-Conduct-Performance):

  • Kinerja perusahaan ditentukan oleh perilakunya. Firm’s performance akan ditentukan oleh Firm’s conduct-nya (behavior). Firm’s behavior akan ditentukan oleh Market Structure.
  • Kenapa perusahaan dapat berbeda-beda dalam satu industri?. Logikanya adalah mereka melakukan hal yang berbeda-beda dan berprilaku secara berbeda.
  • Yang menarik dari model ini adalah: Apa antesendens dari perilaku perusahaan?. Apa yang melatar belakangi perilaku perusahaan tersebut?. Struktur pasar akan mempengaruhi conduct perusahaan.
  • Misalnya perusahaan Apple menjadi market leader, maka dia akan berpeluang memiliki market power. Ketika memiliki market power maka dia memiliki kemampuan untuk mengeksekusi harga setinggi-tingginya.

Market Power
Apa itu market power?. Market power adalah kemampuan perusahaan untuk mendominasi pasar. Ada banyak cara untuk mengukur market power, misalnya Lerner Index.

Sekian.

-end-
MEF

Apa itu Industrial Organization?

Jika pada teori manajemen yang dipelajari sebelumnya perspektifnya adalah individu, atau orang, atau bagian dari organisasi. Maka industrial organization perspektifnya adalah perusahaan, maka yang dipelajari adalah bagaimana perusahaan atau organisasi berperilaku.

Apa itu industrial organization?

  • Adalah tentang mengamati perilaku perusahaan dalam suatu industri
  • Fokus pengamatan adalah bagaimana perusahaan berperilaku
  • Unit analisisnya adalah perusahaan.
  • Yang dipelajari adalah bagaimana perusahaan atau organisasi mengambil tindakan baik yang rasional maupun irrasional dalam rangka merespon pasar.
  • Sementara Kalau manajemen pemasaran unit analisisnya adalah konsumen, manajemen keuangan unit analisisnya pasar (investor), kalau SDM unit analisisnya adalah pegawai, leader atau tim.

Ada yang mengatakan bahwa industrial organizatioan adalah turunan dari strategic management. Apa yang membedakan antara strategic manajemen dengan industrial organization?

  • Pada strategic management sering mengasumsikan bahwa perusahaan adalah entitas yang terisolasi. Misalnya dalam penentuan visi-misi, dibuatlah visi misi dan dievaluasi dengan tools. Asumsinya adalah perusahaan tersebut adalah sendiri dan mengabaikan ada kompetitor, hingga pada akhirnya perusahaan akan berperilaku berdasarkan strategi tersebut.
  • Sementara pada Industrial Organization, perusahaan diasumsikan bahwa tidak dapat dipisahkan dari lingkungan eksternalnya. Artinya tidak mungkin dipandang bahwa entitas tersebut terisolasi, pasti bagaimana perusahaan tersebut berperilaku akan dipengaruhi oleh lingkungannya.

Untuk menjelaskannya, kita gunakan contoh Honda dan Yamaha.

  • Honda dikenal sebagai perusahaan yang fokus pada industri yang sama (mesin, otomotif, dsb)
  • Yamaha dikenal selain sebagai perusahaan otomotif, juga memiliki unit bisnis yang lain, seperti: alat musik.

Jika Honda fokus pada satu industri, sementara Yahama melakukan diversifikasi. Mana yang lebih rasional?. Apakah fokus atau diversifikasi?.

  • Ini yang harus di-challenge, apakah hal tersebut adalah konsep yang benar-benar solid untuk menjelaskan perilaku perusahaan, atau hanya merupakan rationalize myth (mitos yang dirasionalisasikan)?.
    • Mitos yang dirasionalisasi contohnya: Fokus pada satu industri adalah lebih baik dibanding diversifikasi, begitu sebaliknya.

Dalam industrial organization intinya adalah mencari framework untuk menjelaskan bagaimana industri berperilaku. Untuk memberikan justifikasi perilaku tersebut tidak cukup dengan data historis, namun harus diketahui mengapa berperilaku seperti hal tersebut?”

Kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan

  • Economic of scale adalah bermain dengan volume, kuantiti dapat menurunkan cost. Perusahaan harus fokus pada industrinya.
    • Dengan kata lain konsepnya adalah Bigger is better dan long run activity. Diyakini bahwa dengan diproduksinya secara banyak akan menurunkan cost per unit.
  • Economic of scope adalah meningkatkan variasi akan membantu skala ke-ekonomian, atau banyaknya variasi akan membantu perusahaan menurunkan cost. Pada konsep ini dengan diyakini bahwa fixed cost akan tersebar pada setiap unit sehingga menjadi lebih murah. Contoh: Hotel yang sebenarnya ditujukan untuk menginap, namun jika diberi variasi layanan, seperti: konfrensi, seminar, pelatihan, pesta perkawinan, jasa catering, dll, maka biaya per unit akan murah.

Contoh kedua tentang, mana yang lebih baik Menjadi perusahaan yang pertama atau yang kedua?. (seperti contoh: Apple dan Samsung).

Mana yang lebih rasional, menjadi perusahaan yang pertama (first mover) atau perusahaan yang kedua (second advance mover)?. Baik menjadi perusahaan pertama atau kedua, tentu ada argumen rasionalnya. Yang menjadi menarik adalah perusahaan mengambil tindakan yang tidak rasional. Misalnya logikanya yang terbaik adalah menjadi perusahaan yang pertama karena akan dikenal sebagai perusahaan yang unggul, dsb. Namun ada juga perusahaan yang dengan sengaja memilih menjadi perusahaan yang kedua (tidak rasional). Tindakan ini mungkin adalah tindakan tidak rasional yang paling rasional.

Kesimpulan:

Industrial Organization adalah bidang ilmu yang mempelajari perilaku perusahaan pada industri, juga keputusan-keputusannya. Termasuk keputusan irrasional yang paling rasional (konsep Behavioral economic).

Sejarah Dual Process Theory

Buat yang belajar ilmu sosial terutama terkait bagaimana manusia mengambil keputusan, ada baiknya mempelari tentang teori ini, yaitu tentang sejarah dari Dual Process Theory. Ok, saya akan coba ceritakan.

Dual Process Theory (DPT) menjelaskan tentang bagaimana pemikiran manusia dapat muncul dalam dua hal yang berbeda, yaitu cara dan proses. Terkadang dua hal ini dapat hadir dalam bentuk implisit (otomatis atau secara tidak sadar), dan eksplisit (terkendali atau secara sadar). Dua hal ini yang membedakan bagaimana manusia dalam mengambil keputusan.

Fondasi awal dari teori ini diajukan oleh William James (1842-1910), seorang filusuf dan psikolog Amerika yang juga dikenal sebagai Bapak Psikolog Amerika). Beliau mengajukan pemikiran tentang “Different kinds of Thinking“, dimana terdapat perbedaan ketika manusia berpikir untuk mengambil keputusan. Ia memaknai “perbedaan jenis” tersebut dengan membedakan dua konsep yaitu: associative dan true reasoning. Menurutnya pemikiran asosiatif akan muncul dibenak individu berdasarkan pengalaman masa lalu yang akan memberikan ide perbandingan dan abstraksi. Sedangkan true reasoning berguna untuk menghadapi “situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya”, dimana menggunakan  penalaran untuk mengatasi hambatan.

Pemikiran awal dari Wiliam James tentang “Different kinds of thinking” tersebut kemudian berkembang dimasa yang akan datang. Ada banyak ahli-ahli atau tokoh dibidangnya yang mengembangkan teori dual process dan terinspirasi dari hasil karya beliau. Beberapa teori yang akan dijelaskan berikut adalah hanya beberapa dari banyak teori yang dapat ditemukan. Para tokoh-tokoh tersebut adalah:

  • Peter Wason dan Jonathan Evans, yang mengembangkan dual process theory tentang konsep heuristic dan analytic pada tahun 1974.
  • Richard E. Petty dan John Cacciopo, yang mengembangkan teori Elaboration Likelihood Model (ELM) pada 1986.
  • Steven Slomon yang mengembangkan konsep dual process of reasoning pada tahun 1996
  • Daniel Kahneman (pemenang Nobel Ekonomi tahun 2002), yang membagi dual process tersebut menjadi dua sistem, yaitu sistem 1 dan sistem 2 pada tahun 2003.
  • Fritz Strack and Roland Deutsch, yang membagi proses pemikiran manusia menjadi dua, yaitu the reflective dan impulse pada tahun 2004

Ok, mari saya ceritakan satu per satu.

Yang pertama yaitu Peter Wason dan Jonathan Evans, mereka menyatakan terdapat dua proses yang berbeda, yaitu: heuristic dan analytic. Pada proses heuristik, individu memilih informasi mana yang relevan pada situasi tertentu. Informasi yang relevan ini kemudian diproses, sedangkan yang tidak relevan tidak diproses, selanjutnya proses ini dilanjutkan dengan proses analitik. Sepanjang proses analitik, informasi yang relevan dipilih berdasarkan proses heuristik yang kemudian akan digunakan untuk memberikan justifikasi tentang situasi. (sumber: 1)

Yang kedua adalah Richard E. Petty dan John Cacciopo, mereka mengajukan dual process theory yang fokus pada bidang psikologi sosial pada 1986. Teori tersebut kemudian dikenal dengan Elaboration Likelihood Model of Persuasion. Pada teori ini mereka menyatakan bahwa terdapat dua rute yang berbeda dalam membuat keputusan, yaitu central route dan peripheral route. Rute pertama, yaitu central route ini menggambarkan kondisi pengambilan keputusan dimana seseorang berfikir dengan hati-hati tentang situasi, mengelaborasi semua informasi yang ada, dan membuat argumen. Rute ini hadir ketika individual memiliki motivasi dan kemampuan yang tinggi. Rute kedua adalah peripheral route, ini menggambarkan pengambilan keputusan dimana individu tidak berfikir secara hati-hati tentang situasi dan menggunakan jalan pintas (shortcut) untuk membuat penilaian. Rute ini muncul ketika motivasi dan kemapuan dari individu adalah rendah. (sumber: 1, 2)

Yang ketiga adalah Steven Sloman yang membuat interpretasi tentang dual processing pada tahun 1996. Ia membagi dual processing ini menjadi dua sistem yaitu: associative dan rule-based system. Pada associative system, ia menjelaskan bagaimana seseorang mengambil keputusan berdasarkan kesamaan dari pengalaman masa lalu, mengandalkan hubungan yang temporal dan yang memiliki kesamaan untuk menentukan argumen, dibanding mendasarinya dengan struktur mekanis.  Berbeda dengan associative system, sistem berfungsi pada struktur logika dan variabel berdasarkan aturan sistem untuk menghasilkan kesimpulan yang berbeda dari associative system. Ia juga menyatakan bahwa the rule-based system mempunyai kendali pada associative system, meskipun hanya bisa menekannya. Interpretasi ini sangat penting pada pekerjaan awal dari model komputansi dari dual process of reasoning. (Sumber: 1)

Yang keempat adalah Daniel Kahneman, yaitu seseorang yang menulis buku terkenal “Thinking Fast and Slow“. Secara umum ia menginterpretasikan dual process theory dengan intutive dan reasoning action. Kahneman menyatakan pada proses pengambilan keputusan individu terdapat dua sistem yang bekerja, yaitu yang ia namakan sistem 1 dan sistem 2. Sistem 1 bekerja secara cepat dan otomatis (mirip dengan associative reasoning), sedangkan pada sistem 2 berjalan secara sadar atau terkontrol. Sistem 1 (yang berjalan otomatis) seperti skil yang terlatih, contohnya ketika seseorang mengendari kendaraan, sedangkan sistem 2 berjalan pada kondisi sadar, contohnya ketika berkendara pada kondisi jalan yang sulit. (sumber: 1)

Yang kelima adalah Fritz Strack dan Roland Deutsch yang mengajukan dual process theory lain yang fokus pada bidang psikologi sosial. Berdasarkan model yang mereka ajukan terdapat dua sistem yang berjalan, yaitu: reflektif dan impulsif. Pada sistem reflektif keputusan diambil berdasarkan pengetahuan dan informasi yang hadir merupakan dari situasi yang diproses. Dilain pihak, pada sistem impulsif, keputusan diambil berdasarkan skema dan hanya sedikit (atau bahkan tidak sama sekali) menggunakan daya pikir. (sumber: 1)

Kesimpulan
Dari kelima interpretasi dual process theory tersebut, secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu proses yang berjalan berurutan dan yang memiliki jalannya sendiri. Pada dual process theory yang diajukan oleh Wason dan Evan, konsep yang mereka ajukan merupakan proses yang berjalan berurutan (setelah proses heuristik kemudian analitik), sedangkan yang lain memiliki jalannya sendiri, seperti:

  • Petty dan Cacciopo (central vs peripheral route),
  • Slomon (Associate vs rule-based system),
  • Kahneman (system 1 vs system 2), dan
  • Strack dan Deutsch (reflective vs impulsif).

sumber utama: link

Kebutuhan dan Nilai; Apa yang dicari oleh Pekerja?

Ditulis oleh: Mohammad Eko Fitrianto

Kebutuhan adalah sesuatu yang harus dipenuhi oleh manusia, dari kebutuhan akan menjadi dorongan seseorang melakukan sesuatu. Sejak aliran ilmu manajemen berkembang, aliran manajemen tidak hanya memandang manajemen adalah pendekatan ilmiah untuk mencapai tujuan (manajemen ilmiah). Pengamatan terhadap perilaku pekerja, menjadi topik penting yang coba dipahami dan diteliti. Pada era manajemen ilmiah, pekerja dianggap sebagai faktor produksi yang digunakan untuk mencapai kondisi efisien dan efektif. Namun pada perkembangannya, para ahli manajemen mulai menyadari bahwa sebagai manusia pada umumnya (human being), mereka memiliki kebutuhan yang harus diakomodir. Pertanyaan besar tentu adalah “Mengapa pekerja berperilaku seperti hal tersebut?”, serta “Adakah yang mendorong mereka melakukannya?”.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, muncul beberapa topik penting yang diteliti seperti kebutuhan, karakteristik pekerjaan (job characteristics) dan kepuasan kerja (job satisfaction). Dengan menggunakan berbagai pendekatan, muncul beberapa teori dan konsep yang berkaitan dengan topik tersebut. Pinder (1984) merangkum beberapa teori awal tentang kebutuhan yang menjadi tonggak penelitian tentang keprilakuan[1]. Berdasarkan dari sifat dasar manusia, dorongan biologis menjadi dasar Maslow dan McClelland merumuskan teorinya, Maslow dikenal dengan Teori Piramida Kebutuhan dan McClelland dengan Motivation Need Theory. Sedangkan Herzberg memandang dari aspek yang menghasilkan kepuasan kerja (Two factor), dan McGregor memandang dari asumsi-asumsi perilaku pekerja dengan menghasilkan Teori X dan Y. Kebutuhan tersebut pada akhirnya akan menghasilkan kepuasan saat dipenuhi,  hingga saat itu banyak penelitian menunjukan keterkaitan antara kepuasan pekerja (satisfaction) dan kinerja (performance)[2]. Permasalahan muncul karena pendekatan tersebut tidak secara tepat memprediksi bagaimana pekerja dapat merasakan puas sehingga berdampak terhadap kinerjanya.

Salancik (1977) menyatakan bahwa terdapat permasalahan utama pada teori-teori yang berkaitan dengan kepuasan dan perilaku pekerja. Permasalahan pertama terkait dengan tidak terdapat kesepakatan tentang konsep, baik konsep kebutuhan (need) dan karakteristik pekerjaan (job characteristics)[3]. Permasalahan kedua terkait tentang berbagai kemungkinan yang muncul dikarenakan kebutuhan manusia yang tidak sama, dan ekspektasi seseorang terhadap pekerjaannya (apakah instrumental atau ekspresif). Serta permasalahan terakhir terkait dengan metodologi saat melakukan penelitian kebutuhan (needs), yaitu tentang konsistensi dan keutamaan (priming). Pertanyaan berikutnya adalah mengapa hal tersebut relevan dengan kondisi sekarang?.

Sifat pekerjaan telah berubah secara dramatis selama dekade terakhir, ini dicerminkan dari meningkatnya persaingan global, restrukturisasi pekerjaan, dan perataan hierarki organisasi. Perubahan-perubahan ini telah meningkatkan kebutuhan akan kreativitas dari para pekerja di semua tingkatan dan berbagai jenis pekerjaan, termasuk yang mungkin secara tradisional tidak mengharuskan karyawan untuk menjadi kreatif. Orientasi pemuasan kebutuhan tidak hanya fokus pada kebutuhan dasar seperti biologis, namun pada kebutuhan yang lebih tinggi. Kondisi ini sangat berbeda jauh dibandingkan saat teori-teori tersebut dikemukakan, kebutuhan tidak lagi hanya dipandang hanya dari sisi karyawan saja, namun juga dari sisi organisasi.

Kebutuhan organisasi merupakan kebutuhannya untuk mencapai tujuan, ini membutuhkan kecocokan dengan tenaga kerja yang melaksanakannya. Kecocokan ini diartikan sebagai kecocokan antara Orang dan Lingkungan (Person Environment – PE). Kecocokan hubungan antara keduanya menjadi penting, dimana kebutuhan organisasi bertemu dengan kebutuhan seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Greguras dan Diefendorff (2009) menyatakan bahwa kepuasan kebutuhan psikologis untuk Otonomi (Autonomy), Keterkaitan (Relatedness), dan Kompetensi (Competence) memediasi secara parsial hubungan antara berbagai jenis kecocokan PE yang dirasakan (yaitu kecocokan Orang-Organisasi, kecocokan Orang-Kelompok, dan kecocokan kemampuan-Tuntutan pekerjaan) dengan Komitmen organisasi afektif karyawan dan kinerja pekerjaan secara keseluruhan[4].

Selain kebutuhan terkait kecocokan lingkungan dengan orang (PE), dalam membantu organisasi memenangkan persaingan para karyawan memiliki kebutuhan Growth need strenght (GNS). Variabel ini diungkap dalam penelitian Shalley, Gilson dan Blum (2009), menjadi faktor penting bagi pekerja untuk menghasilkan kinerja yang kreatif[5]. Dalam kesimpulan mereka, variabel GNS memberi kontribusi terhadap kinerja yang kreatif pada tiga hal. Pertama, GNS adalah variabel penting dalam perbedaan individu terkait dengan kreativitas. Kedua, GNS berinteraksi dengan konteks kerja yang mendukung untuk kinerja kreatif. Ketiga, kompleksitas pekerjaan memoderasi hubungan antara GNS dan konteks kerja yang mendukung agar terus berkinerja tinggi dan kreatif.

Terkait tuntutan menampilkan performa yang tinggi serta kreatif tersebut, kebutuhan lain yang penting adalah kebutuhan akan pemulihan (Need for recovery)[6]. Pemulihan merupakan kebutuhan dimana seseorang berkesempatan untuk memulihkan sumberdayanya (tenaga, pikiran dan waktu) agar terus berperforma tinggi. Sonnentag dan Zijlstra (2006) melakukan pembandingan dari dua buah studi yang dilakukan pada perusahaan teknologi tinggi di Belanda. Variabel yang diteliti adalah tuntutan pekerjaan (job demands), kontrol pekerjaan (job control), serta kebutuhan akan pemulihan (need for recovery). Hasil dari studi tersebut menunjukan bahwa, tuntutan pekerjaan dan kontrol pekerjaan terkait dengan kebutuhan untuk pemulihan (recovery), kelelahan, dan kesejahteraan. Efek dari tuntutan pekerjaan dan kontrol pekerjaan pada kelelahan dan kesejahteraan dimediasi oleh kebutuhan untuk pemulihan.

Pada konteks terkini, kebutuhan tetap sebagai sesuatu “hal penting” yang harus dipenuhi, namun “hal penting” tersebut selalu menyesuaikan dengan kebutuhan zaman. Kebutuhan tidak hanya dipandang sebagai pemenuhan hasrat biologis, namun juga tentang mencari manfaat (value) dan semua pihak mencari manfaat terbaik yang bisa mereka dapatkan. Terlebih dengan kemajuan teknologi yang mengubah berbagai tataran bisnis, semua pihak dituntut untuk inovatif agar terus kompetitif. Beberapa pendekatan mulai digunakan seperti Konsep Innovative Work Behavior (IWB) mulai diperkenalkan untuk merespon kondisi sekarang. IWB menjadi penting dikarenakan berkontribusi pada inovasi organisasi dalam bentuk proses baru, produk dan jasa [7]. Sejalan dengan hasil kajian-kajian motivasi sebelumnya, Organisasi juga harus peka terhadap variabel-variabel antesenden motivasi karyawan, seperti yang terkait dengan: self-determined motivation, person organization fit, organization support of creativity and pay justice.

Referensi

[1] Work Motivation: Theory, Issues, and Applications, ed. Lyman W. Porter, Scott, Foresman series in organizational behavior and human resources (Scott, Foresman, 1984), https://books.google.co.id/books?id=yFFPAAAAMAAJ.

[2] Donnald P. Schwab and Larry L. Cummings, “Theories of Performance and Satisfaction : A Review,” Industrial Relation, no. (1970): 79–101.

[3] Gerald R. Salancik and Jeffrey Pfeffer, “An Examination of Need-Satisfaction Models of Job Attitudes,” Administrative Science Quarterly 22, no. 3 (1977): 427–456.

[4] Gary J Greguras and James M Diefendorff, “Different Fits Satisfy Different Needs: Linking Person-Environment Fit to Employee Commitment and Performance Using Self-Determination Theory,” Journal of Applied Psychology 94, no. 2 (2009): 465–477.

[5] Christina E. Shalley, Lucy L. Gilson, and Terry C. Blum, “Interactive Effects of Growth Need Strength , Work Context , and Job Complexity on Self-Reported Creative Performance,” Academy of Management 52, no. 3 (2009): 489–505.

[6] Sabine Sonnentag and Fred R.H. Zijlstra, “Job Characteristics and Off-Job Activities as Predictors of Need for Recovery, Well-Being, and Fatigue,” Journal of Applied Psychology 91, no. 2 (2006): 330–350.

[7] Erik Andreas Saether, “Motivational Antecedents to High-Tech R&D Employees’ Innovative Work Behavior: Self-Determined Motivation, Person-Organization Fit, Organization Support of Creativity, and Pay Justice,” Journal of High Technology Management Research, no. xxxx (2019): 100350, https://doi.org/10.1016/j.hitech.2019.100350.

IPK bagus, itu penting atau tidak?

Jadi gini, saya pernah baca tentang “buat apa sih IPK bagus, kalo gak bisa kerja”. Atau “IPK gak jamin kesuksesan, itu yang IPK nya jeblok bisa sukses”. Yha. mungkin kalian pernah baca ya?, atau mungkin juga pernah mendiskusikan ini.

Sekarang saya jawab, satu per satu. Jadi disini ada dua hal yang berbeda dan mungkin bisa bertentangan, yaitu “IPK yang bagus” dan “Sukses dalam kehidupan”.

dan ketika digabungkan jadi “IPK yang bagus tidak menjamin hidupnya sukses”. Ya emang bener, tapi gak nyambung. Satu tentang akademis, satu lagi tentang praktis. IPK bagus emang gak jamin anda akan sukses dapet pekerjaan bagus, dapet uang, dan hidup yang sejahtera.

Mengapa?

Ya karena IPK itu adalah ukuran prestasi akademik. IPK itu menunjukan kalau anda sukses secara akademik. Kata “bagus”, umumnya bisa diartikan secara mudah kalau anda memiliki IPK diatas 3, artinya rata-rata nilai anda B. Atau bisa juga IPK “bagus” itu kalau diatas 3.5, atau nilai anda dominan A, dan nilai B sedikit. atau bisa aja anda bikin definisi sendiri.

Intinya anda cerdas secara akademik. Tapi apakah itu menjamin anda akan sukses dalam kehidupan?. Belum tentu.

Sebaliknya, ketika ada argumen “Tuh kan, banyak yang IPK nya kecil tapi bisa sukses”, ini malah gak nyambung. Sukses dalam kehidupan, misalnya mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang bagus, itu adalah hal yang berbeda lagi. Kesuksesan yang dimaksud dapat merupakan hasil dari softskill, seperti: kemampuan komunikasi, motivasi, kemampuan membangun jaringan, daya tahan pada lingkungan kerja, kemampuan adaptasi, dan lain-lain.

Ada juga yang kasih contoh ngaco, “Itu Bill Gates sama Steve Job mahasiswa DO, bisa jadi orang terkaya didunia, Bu Susi malah lulusan SMP tapi bisa jadi menteri”. Mengapa contoh ini ngaco?, ya karena logikanya melompat. Orang tidak memahami bagaimana mereka mengembangkan kemampuannya walau tidak disekolah atau dikampus, intinya mereka tetep belajar rajin, tekun dan giat, nih garisbawahi,… tetep belajar yang rajin, tekun dan giat, walau bukan pada jalur formal.

Yang ngaco itu adalah “gak pernah mau belajar, tapi bilang ngapain sekolah tinggi-tinggi, itu yang gak tamat SMA aja bisa jadi menteri”. Eh, dianya sendiri gak pernah belajar dengan giat.

Poin pentingnya apa sih?.

Memang ada perbedaan jalur, yaitu Jalur Akademis dan Jalur Praktis

Jadi untuk apa sih kuliah?. Kuliah itu intinya adalah membentuk cara pikir yang ilmiah dan sistematis, kalau kalian tidak suka dengan cara tersebut maka bisa memilih menjadi praktisi.

Kalo kalian sekarang adalah mahasiswa, ya berusaha aja dapetin IPK yang tinggi, dan jangan pernah bilang “Buat apa sih IPK tinggi, gak jamin sukses”, soalnya kan kalian di jalur akademis. Kalo ngomong kayak itu, ngapain kalian kuliah? :D

Lagian ya, IPK tinggi itu akan membuka jalan kalian. Pintu akan terbuka lebih lebar dibanding kalo kalian punya IPK yang standar.

Kind regards, :)

Beberapa Paradigma Pada Penelitian Sosial

Ilmu sosial (social science) sedikit berbeda dengan ilmu alam (natural science) dalam memaknai realitas. Pada natural science realitas lebih nyata sehingga lebih mudah dibuktikan, misalnya dengan panca indera, sehingga sangat mudah untuk mencapai kesepakatan. Realitas pada ilmu alam lebih “nyata” dibanding dengan realitas pada ilmu sosial. Berbeda dengan natural science, ilmu sosial lebih abstrak karena berkaitan dengan interaksi antar manusia. Pada ilmu sosial dan natural science terdapat beberapa perdebatan utama tentang realitas, yaitu:

  • Apakah realitas adalah sudah tersedia (given) atau hasil dari pemikiran manusia (product of the mind)?
  • Apakah cara terbaik untuk mengetahui dan memahami realitas tersebut dengan mengalaminya langsung?.
  • Apakah manusia memiliki kehendak bebas (free will) atau ditentukan oleh lingkungan (determined by our environment)?
  • Apakah cara terbaik untuk memahami realitas tersebut adalah melalui metode ilmiah atau pengalaman langsung?

Perdebatan tersebut bukan ditujukan untuk mencari kebenaran mutlak (absolute truth), namun tentang cara pandang yang berbeda dalam melihat realitas. Berikut penjelasan dari perdebatan tersebut.

  • Pada ilmu alam realitas adalah telah tersedia (given), sedangkan pada ilmu sosial realitas adalah hasil dari pemikiran manusia atau socially constructed. Realitas yang given seperti kejadian alam yang memang telah disediakan oleh alam, kemudian dipelajari. Sedangkan realitas pada ilmu sosial adalah hasil dari pemikiran manusia, seperti: rasa suka terhadap sesuatu, bagaimana mereka bertindak, dll.
  • Pada ilmu alam cara terbaik belum tentu dengan mengalaminya langsung, tapi pada ilmu sosial dapat dilakukan. Contohnya pada ilmu alam mengatakan bahwa “alam semesta mengembang (expand)”, tentu jadi pertanyaan, bagaimana mengetahuinya jika harus mengalaminya langsung?, apakah ilmuan tersebut berada diujung alam semesta kemudian mengamati bahwa alam semesta ini mengembang?, tentu tidak. Maka pada ilmu alam dibuat pendekatan-pendekatan tertentu yang digunakan untuk memprediksi. Berbeda dengan ilmu sosial, untuk mengetahui dan memahami realitas maka dapat dilakukan dengan cara mengalaminya langsung atau menjadi bagian dari yang diteliti.
  • Pada ilmu sosial manusia memiliki kehendak bebas (free will), berbeda dengan ilmu alam yang ditentukan oleh lingkungan.
  • Terkait cara terbaik untuk memahami realitas tersebut, apakah harus dengan metode ilmiah dan pengalaman langsung tentu tergantung pada konteks penelitian. Pada ilmu sosial juga dapat menggunakan pendekatan ilmiah seperti pembuktian hipotesis, atau memahami realitas dengan pengalaman langsung.

Contoh ilustrasi singkat, misalnya ilmu alam mempelajari tentang karakteristik dari fenomena alam ataupun benda, seperti ukuran, volume, gerak, dan lain-lain dengan lebih objektif. Petir adalah bentuk dari fenomena alam, sehingga dapat dipelajari bagaimana bisa terjadi, apa saja yang menyebabkan terjadinya, berapa lama, kapan, dan seterusnya.  Penelitian pada ilmu alam memungkinkan terjadinya akumulasi pengetahuan, misalnya peneliti A meneliti tentang Petir, kemudian Peneliti B menemukan bukti baru yang menyempurnakan penelitian A, dan dilanjutkan oleh Peneliti C, sehingga pengetahuan tentang petir dapat terakumulasi.

Pada ilmu sosial tidak demikian, karena realitas yang dipelajari adalah lebih abstrak. Dengan sudut pandang yang berbeda, maka akan sulit untuk melakukan akumulasi pengetahuan. Pada bidang sosial realitas adalah hasil dari pikiran manusia berdasarkan interaksinya dengan individu lain dan lingkungan. Misalnya kepuasan konsumen adalah sesuatu yang terjadi dibenak konsumen, tidak memiliki wujud, dan dapat diartikan berbeda-beda tergantung bagaimana memaknainya. Maka peneliti sosial menggunakan pendekatan-pendekatan yang berbeda untuk mengetahui realitas tersebut.

Terkait memahami realitas, justru perdebatan sengit terjadi pada ilmu sosial, dimana terdapat perbedaan cara pandang dalam memahami realitas. Burrell dan Morgan (1979), membuat paradigma dalam ilmu sosial, yang merangkum bagaimana peneliti-peneliti sosial memahami realitas. Mereka merancang empat kuadran yang terdiri dari dua kontinum, yaitu Objective-Subjective dan Regulation-Radical change. Bentuk dari dimensi paradigma tersebut adalah sebagai berikut:

burrell and morgan

Paradigma Functionalist

  • Pada paradigma ini berakar pada sociology of regulation dengan menggunakan sudut pandang objektif. Ciri khasnya adalah perhatian yang besar pada penjelasan-penjelasan mengenai status quo, keteraturan sosial, konsensus, integrasi sosial, soliadritas, pemenuhan kebutuhan dan aktualisasi. Dikarenakan realitas yang dipahami dengan cara objektif, sehingga akumulasi pengetahuan akan lebih mudah terjadi. Umumnya menggunakan pendekatan statistik untuk membuktikan sebuah fenomena (uji hipotesis, uji asosiasi, dll). Kebanyakan penelitian yang dilakukan adalah menggunakan paradigma fungsionalis

Paradigma Interpretive

  • Paradigma ini berakar pada sociology of regulation dengan sudut pandang subjektif. Perhatian utamanya ada pada bagaimana memahami dunia sebagaimana adanya, memahami tabiat fundamental dari dunia sosial dari pengalaman subjektif. Paradigma ini berupaya untuk menjelaskan dalam dunia kesadaran seseorang dan subjektivitas, dalam bingkai rujukan orang yang terlibat langsung, bukan sebagai pengamat. Umumnya untuk mendapatkan realitas peneliti menjadi bagian dari subjek yang diteliti.

Paradigma Radical Humanist

  • Paradigma ini didefinisikan dengan perhatian utamanya untuk mengembangkan sociology of radical change dari sudut pandang subjektif. Paradigma ini berpandangan bahwa dalam sebuah masyarakat adalah penting untuk membuang atau melanggar batas-batas yang ada dalam pengaturan sosial.

Paradgima Radical Structuralist

  • Paradigma ini berangkat dari pandangan Sociology of radical change dari sudut pandang objektif. Radical structuralist sangat gigih dalam membahas isu-isu perubahan radikal, emansipasi, dan potensiality, analisis yang menekankan konflik struktural, dominasi, kontradiksi dan pengambilalihan (deprivation).

Nah, paradigma mana yang dipilih? Kalau saran dari dosen saya adalah pelajari dulu semuanya, baru menentukan paradigma mana yang dipilih. Hal ini dapat membantu peneliti dalam menghormati paradigma lain.

Best regards,
-Eko-

Label Peringatan pada Kemasan Rokok; Sejarah dan Perkembangannya

Setiap produk memiliki karakteristik tertentu, beberapa produk memiliki karakteristik berbahaya. Misalnya produk kimia, benda tajam, sengatan listrik, maupun berbahaya bagi kesehatan. Pada produk yang dikonsumsi manusia, produsen perlu memperingatkan akan bahaya dari penggunaan produk tersebut, seperti: kadar alkohol, kadar gula pada makanan, maupun kadar nikotin pada rokok. Peringatan tersebut terkait dengan konsumsi konsumen, dimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat produk dengan permintaan yang unwholesome demand (permintaan tidak sehat). Pada jenis permintaan ini konsumen menginginkan sebuah produk meskipun tahu konsekuensi negatif dari produk tersebut.

Karena itulah pemerintah sebagai regulator membuat aturan bahwa harus dicantumkan peringatan terhadap bahaya dari penggunaan produk tersebut, produk ROKOK contoh nya.

Kalau anda perhatikan, “pesan” pada label peringatan di kemasan rokok meningkat secara bertahap. Maka dari itu muncul istilah Warning Label (WL), Graphic Pictorial Health Warning (GPHW), Health Warning Label (HWL), atau istilah-istilah lainnya. Sebenarnya itu menunjukkan eskalasi dari pesan yang disampaikan, pada awalnya pesan disampainkan hanya berbasis teks, namun terus berkembang hingga gambar, kombinasi gambar dan teks, hingga inovasi seperti kebijakan plain packaging dan hotline. Pada dasarnya semua pesan adalah sama, yaitu ditujukan untuk mengurangi dampak negatif dari merokok.

Di Indonesia sejak tahun 90an sudah diterapkan, dimulai dari yang berbasis teks, hingga kombinasi teks, gambar, serta hotline. Peringatan pada bungkus rokok dapat dilihat disini: (sumber: Wikipedia.org). Berikut adalah contoh-contohnya:

Jika diperhatikan, peringatan tersebut terus berubah sesuai dengan kondisi saat tersebut. Pada tahun 1999 narasi peringatan tersebut adalah “Merokok dapat merugikan kesehatan”, pesan ini lebih bernilai himbauan yang kurang lebih artinya “dilakukan boleh, tidak juga tidak apa-apa”. Bandingkan dengan peringatan terbaru, yaitu “Merokok membunuhmu”, peringatan ini bersifat singkat, padat dan jelas yang memberitahu bahwa “Jika anda tetap merokok, maka anda akan mati”.

Namun pada perkembangannya, pesan teks tidak cukup kuat untuk mempengaruhi perilaku merokok seseorang, maka munculah kebijakan mencantumkan gambar. Gambar yang dipilih adalah gambar yang mengganggu (disturbing picture). Penggunaan gambar diharapkan dapat meningkatkan kekuatan pesan secara psikologis. Pesan gambar juga dibuat dengan eskalasinya, dimulai dari yang berbentuk himbauan, konsekuensi maupun testimoni dari penderitanya. Di Indonesia sudah diterapkan sejak 2014, dan kemudian direvisi pada 2017. Kebijakan tersebut tertuang pada Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No.28/2014 dan No.56/2017. Berikut tampilannya:

Gambar lamaGambar baru

Pada revisi PMK tahun 2017, juga ditambahkan layanan telpon untuk berhenti merokok (Layanan Berhenti Merokok), yang dapat digunakan untuk konsultasi bagi perokok yang ingin berhenti merokok. Berbeda dengan di Indonesia, beberapa negara di dunia seperti Australia dan Canada telah menerapkan strategi Plain Packaging (kemasan polos) dimana kebijakan ini mewajibkan produsen rokok untuk menghilangkan pengaruh marketing pada kemasan rokok dengan membuatnya standar, yaitu dengan warna, bentuk, huruf, gambar, dll yang sama.

Hasil gambar untuk plain packaging

Hasil gambar untuk plain packaging

Tentu ada pertanyaan besar: “Apakah bisa Label Peringatan Kesehatan mengurangi jumlah perokok?“. Jawabannya adalah sangat relatif, karena kebijakan Kemasan dan Label hanya satu dari 38 pasal didalam FCTC (Kemasan dan Label termasuk pada pasal 11), masih banyak lagi yang harus dibenahi seperti: kebijakan harga dan non harga, konten, penelitian dan pertukaran informasi, dll. Jika semua telah terlaksana dengan baik maka tujuan tersebut dapat tercapai.

Sekian.

 

 

Label Peringatan Kesehatan pada Kemasan Rokok; Ampuh kah?.

Kalau berdasarkan teori pemasaran, terdapat produk yang disebut memiliki permintaan tidak sehat atau unwholesome demand. Contoh dari produk tersebut adalah rokok, alkohol, rontgen, dll. Jenis permintaan ini memang ada, namun sebenarnya justru produk tersebut berdampak buruk bagi penggunanya (customer wants the product badly), misalnya adalah dampak kesehatan. Untuk itu pada beberapa produk dicantumkan Label Peringatan Kesehatan, yaitu upaya pemerintah sebagai regulator memperingatkan dampak negatif dari penggunaan produk tersebut.

Dahulu ketika rokok menjadi bagian dari gaya hidup, maka iklan rokok bebas menampilkan segala bentuk komunikasi visual dari aktvitas merokok. Namun sejak banyak negara menyepakati bahwa dampak negatif dari rokok lebih banyak daripada manfaatnya, maka aturan tentang hal tersebut diperketat. Beberapa negara membentuk konvensi tentang pengendalian tembakau atau yang disebut dengan FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). Salah satu hal yang dibatasi adalah eksposure dari aktivitas pemasaran produk rokok, seperti: iklan media massa, sponsorship, sales promotion, dan juga pencantuman bahaya merokok pada kemasan.

Pencantuman peringatan kesehatan seperti pada kemasan rokok diharapkan memberikan pengaruh terhadap perilaku dari perokok. Pemilihan kebijakan ini dikarenakan kemasan merupakan bagian dari strategi komunikasi pemasaran, dimana “pesan” yang dicantumkan pada kemasan akan selalu terlihat sepanjang pengguna tetap membawa produk tersebut. Dihadapkan pada kenyataan Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah perokok tersebar didunia dan peningkatan jumlah perokok pemula, maka harus diambil kebijakan yang lebih progresif.

Indonesia merespon dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No.28/2013, dimana mengatur tentang Pencantuman Gambar Peringatan Kesehatan pada kemasan rokok. Jika Anda jeli, terdapat lima gambar peringatan kesehatan yang dipilih untuk menyampaikan dampak negatif dari merokok. Dan sesuai dengan aturan tersebut setiap gambar harus dimuat secara proporsional pada semua varian yang dimiliki oleh setiap merek rokok. Jadi misanya rokok X di produksi sebanyak 1 juta bungkus, maka kelima gambar tersebut harus tercetak pada setiap bungkus rokok secara proporsional (masing-masing 200rb gambar).

Gambar lama

PMK No.28/2013 ini mulai diterapkan sejak 2014, yang diharapkan efektif memberikan dampak terhadap penurunan jumlah perokok. Setelah tiga tahun penerapan, maka dilakukan evaluasi pada tahun 2017 yang menyimpulkan bahwa perlu dilakukan perbaikan agar didapatkan hasil yang lebih maksimal. Beberapa masukan dari evaluasi tersebut adalah penambahan tiga gambar baru, mempertahankan dua gambar lama, merevisi rasio eksposure, mengubah narasi pesan, dan mencantumkan Layanan Berhenti Merokok. Masukan tersebut selanjutnya dituangkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.56/2017.

Gambar baru

Implementasi dari peraturan ini dilakukan sejak tahun 2018, dimana jika anda jeli maka sudah tidak ditemukan lagi tiga gambar peringatan yang lama. Dan, setelah diimplementasikan tentu menjadi pertanyaan:

Seberapa ampuh penerapan kebijakan baru ini dalam menurunkan jumlah perokok?.

Beberapa hasil observasi menunjukan bahwa keinginan untuk merokok (future intention) akan menentukan perilaku dari merokok. Jika keinginan tersebut kuat maka berdampak pada perilaku, seperti: menghindari peringatan tersebut, atau mengabaikannya. Sedangkan bagi yang menyadari dampak negatif dari rokok akan mempertimbangkan untuk berhenti.

Namun hasil observasi tersebut harus didukung dengan bukti empirik yang nyata, untuk itu perlu dilakukan penelitian ilmiah untuk mengkonfirmasi bukti awal tersebut. Hasil dari penelitian tersebut dapat dijadikan masukan pada kebijakan berikutnya. Maka kami tertarik untuk mencoba pertanyaan tersebut. Untuk itu kami sangat mengharapkan pembaca berkontribusi pada survey ini dengan cara mengisi kuesioner dengan link dibawah ini:

https://docs.google.com/forms/d/e/1FAIpQLSe-MXsQehN8VMaB4K3Mt75Xp-erOlDUw_wzXwKTyxt9or6Ajw/viewform

(untuk berpartisipasi, mohon klik link diatas)

Hasil dari pengumpulan data ini akan kami olah untuk menjadi artikel ilmiah yang dapat digunakan sebagai rujukan kebijakan dimasa yang akan datang. Pendapat anda sangat penting dalam survey ini.

terimakasih,